Begitulah kata seorang rekan guru ketika ditanya, apakah motivasinya menulis sehingga bisa menerbitkan begitu banyak buku (15 buku dan, dengan izin Allah, akan terus bertambah).
Suatu jawaban yang menggelitik. Sebab, diri ini masih bimbang, apakah yang ada di dalam kepala ini akan ditulis atau tidak tulis.
Tidak seperti pensil, menulis memiliki dua sisi tajam.
Sisi pertama adalah sisi yang tajam menghujam hati dengan hal yang baik. Maka sebuah tulisan akan bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang. Sangat mungkin untuk menjadi perantara hidayah. Dan tak terbayangkan betapa banyaknya kebaikan yang bisa diambil dari menuliskan sesuatu yang bisa dibaca orang banyak.
Akan tetapi ada sisi kedua, yang juga tajam. Tapi kali ini dalam hal keburukan. Tak terhitung berapa banyak buku yang sudah menyesatkan banyak orang. Bahkan ketika si penulis sudah bertaubat dan berhenti menulis, buku yang masih terus beredar, menjadi jalan inspirasi keburukan bagi banyak orang. Entah si penulis yang sudah bertaubat akan diampuni atau tidak, akan tetapi jelas sekali akan ada banyak kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh suatu tulisan buruk yang sangat persuasif.
Oleh karena itulah, diri ini menjauhkan diri dari menulis selama beberapa tahun.
Tapi ucapan rekan guru tadi terus terngiang. Kenapa tidak ditulis? Jangan sampai ilmu itu putus di dirimu karena kau tak mau menuliskannya.
Maka, diambillah pena, satu dua kata tersusun kembali.
Kali ini, rekan guru tadi memberikan tantangan. Bersama-sama dengan semua guru di sekolah menulis sebuah buku. Topiknya sederhana, kenapa Anda menjadi guru. Sederhana, namun alasan bagi setiap orang berbeda tentunya. Kemudian tersusunlah beberapa cerita. Dan kemudian dibukukan menjadi "Kisah-Kisah Inspiratif Guru Semesta" oleh Maghza Pustaka.
Harapan kami, bisa mengajak orang lain, terutama para siswa, untuk bisa ikut berkontribusi menulis. Jangan sampai, ilmu itu terputus di kamu..
Post a Comment
Post a Comment